Tubuh Perempuan dalam Eksklusi dari Hak Milik Tanah dalam Program PHBM Perum Perhutani Kabupaten Bandung-Jawabat: Fenomenologi Ketubuhan dan Perlawanan
DOI:
https://doi.org/10.38035/80mth814Keywords:
studi agraria, gender dan hak atas tanah, ekofeminisme, fenomenologi kritis, kekuasaan simbolik, IndonesiaAbstract
Penelitian ini mengkaji pengalaman tubuh perempuan petani dalam konteks konflik agraria di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dengan menggunakan pendekatan fenomenologi kritis. Tanah dalam masyarakat agraris Indonesia bukan hanya aset ekonomi, melainkan ruang eksistensial yang memuat memori kolektif, spiritualitas, dan identitas. Namun, sistem hukum agraria modern yang bercorak patriarkal cenderung mereduksi tanah menjadi objek kepemilikan formal yang dilekatkan pada laki-laki sebagai kepala keluarga. Data lapangan menunjukkan bahwa meskipun perempuan terlibat penuh dalam pengelolaan lahan, mereka jarang tercatat dalam dokumen legal, absen dalam forum desa, serta menghadapi intimidasi aparat. Hasil penelitian mengungkap tiga lapisan eksklusi yang dialami tubuh perempuan, yaitu eksklusi legal-administratif, eksklusi sosial-budaya, dan eksklusi represif. Eksklusi ini menimbulkan luka material dan simbolik yang terejawantah dalam kerja berat, sakit fisik, dan absennya rekognisi formal. Namun, tubuh perempuan juga tampil sebagai arena resistensi melalui aksi fisik menghadapi aparat, aspirasi kolektif membentuk kelompok perempuan tani, serta kesadaran kritis bahwa eksklusi adalah konstruksi sosial yang harus ditentang. Dengan mengintegrasikan fenomenologi ketubuhan, ekofeminisme, kajian agraria kritis, teori relasi sosial konstitutif gender, dan konsep kuasa simbolik, penelitian ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan adalah arsip hidup ketidakadilan sekaligus sumber lahirnya transformasi sosial. Penelitian ini menegaskan bahwa pengakuan perempuan sebagai subjek agraria sah tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga merupakan syarat epistemologis, politis, dan etis bagi terciptanya reforma agraria yang adil gender, setara, dan berkelanjutan.
References
Akram-Lodhi, A. H., & Kay, C. (2010). Peasants and globalization: Political economy, rural transformation and the agrarian question. London: Routledge.
Bernstein, H. (2010). Class dynamics of agrarian change. Sterling, VA: Kumarian Press.
Bourdieu, P. (1990). The logic of practice. Stanford, CA: Stanford University Press.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. New York: Routledge.
Creswell, J. W. (2013). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five approaches (3rd ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.
JDIH Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). SK Pengakuan & Perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN-KK) No. 9243/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2018. Jakarta: KLHK.
Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (1985). Naturalistic inquiry. Beverly Hills, CA: SAGE Publications.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception. London: Routledge.
Mies, M., & Shiva, V. (1993). Ecofeminism. London: Zed Books.
Mimbar Agribisnis. (2021). Dinamika Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Mimbar Agribisnis: Jurnal Pemikiran Masyarakat Agribisnis dan Pertanian Universitas Galuh.
OECD. (2023). Social institutions and gender index (SIGI) country profile: Indonesia. Paris: OECD Publishing.
Peluso, N. L., & Ribot, J. C. (2003). A theory of access. Rural Sociology, 68(2), 153–181. https://doi.org/10.1111/j.1549-0831.2003.tb00133.x
Rao, S. (2021). Gender as constitutive social relation: Re-thinking critical agrarian studies. Journal of Peasant Studies, 48(5), 835–856. https://doi.org/10.1080/03066150.2020.1847094
Rights and Resources Initiative. (2023). Land rights for women under Indonesia’s agrarian reform: Land as a symbol of farmers’ dignity and survival. Washington, DC: RRI.
Rocheleau, D., Thomas-Slayter, B., & Wangari, E. (1996). Feminist political ecology: Global issues and local experiences. London: Routledge.
Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology and development. London: Zed Books.
Siscawati, M. (2018). Gender perspective in Indonesia’s social forestry program: Opportunities and challenges. Forest and Society, 2(2), 164–180. https://doi.org/10.24259/fs.v2i2.4738